Kamis, 04 Agustus 2016

Dan Akhirnya

[P][A][R][T][.][2]
Hingga Akhirnya





"dengarkan alunan lagu,
yg mampu menyembuhkan lara hati
warnai hidupmu kembali
menarilah
bernyanyilah"

* * *

Alfa mengerjap-ngerjapkan kedua matanya, Suara musik di pagi buta yang berhasil membangunkannya lebih awal pagi ini. Alfa bangkit mencari sumber suara, dan ia kembali melihat laki-laki itu di sudut balkon kamarnya.

"hei...udah bangun?" laki-laki itu tersenyum kearahnya

"kamu kenapa ada disini?" seru alfa heran

"karena aku bosan..."

"bosan ?"

"hmmm, karena kamu tak kunjung menepati janji...lalu kapan? kapan aku bisa mendengar kamu memainkan lagu ini dengan piano itu?"

"aku..."

Kemudian senyap, alfa kembali membuka kedua matanya. terdapat peluh yang membanjiri tubuhnya yang payah, Alfa bangkit dan mencoba mengingat mimpinya barusan. Sesekali matanya berkedip seolah sedang mengulang proses semua memori yang ia paksa raih, keinginannya untuk memainkan piano itu, hari pertama ia bekerja di cafe itu, hari pertama ketika ia bangun dari koma, hari dimana ia berada dalam kecelakaan itu.

Seketika kedua mata alfa basah "nggak mungkin" serunya lirih nyaris tanpa tenaga

Tak lama berselang anastasya masuk dari arah pintu "fa...kok tumben jam segini bel..." seketika kalimat anastasya berhenti disitu saat kedua matanya langsung menangkap raut wajah alfa yang tak biasa "alfa kamu kenapa?" anastasya langsung menghamburkan diri sambil memegang dahi serta kedua sisi pipi nya.

Alfa tak menyahut, malah air matanya kian membanjiri wajahnya yang mulai memucat. Tak tinggal diam anastasya langsung menghubungi rega untuk segera datang, khawatir akan ada hal buruk yang akan segera terjadi selanjutnya

"fa...alfa...alfa...?!!" pekik anastasya berulang ulang sambil menguncang guncangkan tubuh alfa

"laki laki itu an..." sahut alfa akhirnya, anastasya menatap tajam kedua mata alfa. Ia langsung teringat perdebatan sengitnya dengan rega beberapa hari lalu mengenai permintaan alfa untuk menemukan seorang laki-laki yang tak diketahuinya.

"laki-laki itu? kenapa? kamu udah inget dia siapa?" ujar anastasya lirih
Dengan air mata yg masih mengalir "laki-laki itu...laki laki itu ada di lokasi kecelakaan an, dia si pengendara ford putih..."

Anastasya kembali mengingat kejadian setengah tahun lalu, kecelakaan beruntun yang dialami alfa hingga membuatnya koma selama 2 bulan, kecelakaan yang disebabkan oleh seorang pengendara mobil yang mengedarai mobilnya dengan ugal-ugalan sehingga akhirnya alfa dan pengemudi truk itu terbaring tak berdaya di rumah sakit.

"laki laki itu yang nyelametin aku an..." sahut alfa kembali,

brukkk, terdengar suara benda jatuh dari arah pintu, disana ada rega yang tengah berdiri mematung.

"maksud kamu apa fa??" seru rega dengan tatapan tak percaya "bualan apa lagi ini???, setelah semua keanehan sikap kamu pasca koma, lalu ini apa lagi ??, jelas-jelas laki-laki itu yg nyebabin kamu celaka?!!" pekik rega geram

Alfa menggeleng-gelengkan kepalanya, dan tangisnya pun kian membuncah

* * *
"pokoknya batalin semua jadwal pertunjukan pekan ini, pekan berikutnya...bulan depan, selanjutanya...seterusnya ?!!"

"ya kamu gak bisa seenaknya gitu maen ngebatalin schedule yg udah di arrange fa...sebagian besar acara besar loh?!"

"aku udah gak tahan ga?!...ini bukan hal yang aku inginin, Aku berhenti sampai waktu dimana aku bisa nemuin kenyamanan bermain piano seperti dulu...bukan disibukan dengan tuntutan yang memaksaku bekerja keras seperti ini?!”

Tuuuttttt

Sambungan itupun terputus, alfa melepas nafas panjang dan berat. Dikepalanya berkecamuk mengenai banyak hal yang tak sanggup ia tanggung lagi, awalnya ia kira akan bahagia menjalani profesi sebagai pianis, tampil di berbagai festival dan pertunjukan besar, di elu-elukan banyak orang karena bakat bermain piano nya. Tapi nyatanya kehidupan yang seperti itu justru membuatnya tersiksa, ia tak lagi bisa menikmati betapa bahagianya ketika ia mampu memulai dan mengakhiri sebuah lagu yang ia ingin bawakan, bukan yang orang lain ingin dengar. Alfa melajukan mobil yg dikendarainya lebih cepat.
tiin tiiin....tiiin tiiin

Alfa sadar suara klakson itu ditujukan untuk dirinya, karena sedari tadi dijalan yang ia lalu hanya ada mobil yg ia kendarai dan mobil ford putih yang mengekor dibelakangnya, segera saja alfa membuka kaca depan dengan malas.

Mobil ford itu melaju sejajar dengannya, si pengendara turut menurunkan jendela dan disana nampak seorang laki-laki berusia sekitar akhir 20-an akhir meminta perhatiannya

"turunin kecepatannya?! maksimal laju kendaraan disini 40km/jam?!" serunya setengah berteriak

"ahh apa-apaan orang ini, lalu yang dia lakukan sekarang apa? bukannya sama saja?" sahut alfa lirih dengan nada kesal, tak ingin memperpanjang masalah alfa pun langsung menurunkan kecepatan laju kendaraannya sambil menginjak pedal rem, namun ada yang aneh, Rem mobil nya tidak bekerja sebagaimana mestinya. Mendadak alfa panik dan malah justru kembali menginjak pedal gas lebih dalam secara spontan.

"hei?!!..." teriak laki-laki itu

Keringat dingin mengalir deras melewati wajah alfa, seketika begitu banyak kemungkinan kemungkinan buruk yang terlintas didalam benaknya. Sementara laki-laki itu masih berteriak –teriak sambil tetap mengejarnya.

"kenapa??" teriak laki-laki itu dari arah sebrang

"blong?!!...rem nya blong?!!" teriak alfa akhirnya

"jangan panik....turunin gas nya pelan-pelan...." teriaknya lagi

"oke alfa...jangan panik" serunya dalam hati, beruntung jalanan didepannya kosong tapi nahasnya tak lama setelah itu terlihat sebuah truk besar dari kejauhan, Konsentrasi alfa kembali terpecah. Wajahnya kini bahkan memucat, tak bisa lagi ia rasakan genggaman tangannya dari balik setir.

Badan truk itu semakin lama semakin dekat jaraknya, alfa sudah kehilangan kesadaran bahkan tatapan kedua matanya sudah kosong, sementara laki-laki itu masih terus menjaga jarak persis disamping mobil alfa sambil terus menerus menekan klakson berharap mobil truk yang ada didepan mereka menyadari kekisruhan ini, Tapi apa daya, seperti sebuah bencana yang sudah dapat diprediksi dalam hitungan detik, alfa tak lagi mampu berharap akan ada keajaiban terjadi pada dirinya.

Dan benar-benar hanya dalam hitungan detik, tiba-tiba saja mobil ford putih itu melesat melewati badan mobil alfa. Memotong jalur mobilnya dan menabrakan mobil itu ke badan truk sehingga seketika truk itu berhenti tepat ketika badan mobil alfa berbenturan dengan mobilnya. Seketika dunia alfa gelap.

* * *

Namanya Ale, usia 28 tahun hobi bermain piano, mengelola sebuah cafe kecil bersama tunangannya anne. Mimpi ale begitu sederhana, sebisa mungkin menolong siapapun yang membutuhkan pertolongan. Tak heran ale begitu digemari oleh semua orang dilingkungannya, bahkan oleh orang orang asing di setiap sudut jalan yang pernah ia sambangi. Dan hari itu, menjadi hari terakhir bagi ale. Hari dimana ia berusaha menyelamatkan nyawa seorang perempuan yang bahkan tidak ia kenal, meski pada akhirnya banyak hal yang harus direlakan pergi setelah itu.

Ale menggengam tangan alfa, menatapnya dengan wajah meminta "aku tahu...aku akan menepati janjiku, terimakasih untuk segalanya" seru alfa lirih, dan disana alfa melihat wajah ale tersenyum.

Akhirnya terdengar suara denting piano dari piano usang itu, nada yang terdengar begitu riang berbanding terbalik dengan suasana hati alfa yang masih mendung, disudut satunya rega memeluk anastasya dengan erat, seolah tak kuat melihat apa yang tengah terjadi hari ini.

Anne yang baru saja masuk ke dalam cafe tentu terperanjat kaget, baginya nada lagu yang terdengar dari alunan piano yang dimainkan alfa seperti baru saja kemarin ia dengar ketika ale memainkan piano itu di petang terakhir sebelum kepergiannya. Seketika kedua sudut mata anne basah, ia akhirnya bisa tersenyum lega karena hari ini ia bahkan bisa melihat sosok ale disana.

" saat jiwamu terlarut dalam gundah
dan seakan tiada jalan keluar
cobalah engkau pahami bahwa
hidup ini terlalu singkat untuk disesali
nyanyikan apa yang kau rasakan
rasakan apa yg kau nyanyikan
nyanyikan apa yg kau rasakan "

Alfa sadar, ia mampu bertahan hidup untuk sebuah alas an. Tuhan mengambil laki-laki sebaik ale agar perempuan keras kepala sepertinya bisa belajar. Bahwa hidup tak harus selalu mengenai apa yang ia inginkan, dan menuntut apa yang seharusnya ia dapati. 

Terkadang bahkan justru ia harus lebih banyak memberi tanpa pamrih seperti ale.

Dan duka tak seharusnya membuat ia lari, karena rasa sakit akan tetap ada selama ia menolak dan tak mengakui keberadaan rasa sakit itu. Ia hanya harus menerima, karena dengan begitu segala rasa sakit atas apapun perlahan akan sirna.

* * *

[Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang diselenggarakan oleh Muskimia, Nulisbuku.com dan Storial.co]

Dan Akhirnya

[P][A][R][T][.][1]
Awalnya




Ini adalah sebuah kisah mengenai seseorang yang kehilangan hampir separuh dari ingatannya, mengenai apa-apa yang sebelumnya ia ingin raih dan apa-apa yang sebelumnya ingin ia tinggalkan. Ia diingatkan melalui sebuah pengorbanan dan kehilangan, dia Alfa.

* * *

Rega dan anatasya terlihat sibuk memperhatikan alfa yang tak kunjung berhenti melayani pesanan, Me-refil isi minuman, menghantarkan makanan, membersihkan meja.

"kamu liat kan an? She’s like...another alfa yang kita kenal, sejak kapan hal-hal kayak gini bisa sangat familiar bagi dia?"

"biarin aja sih ga, selama alfa seneng dan gak keganggu..."

Perempuan yang mereka sebut alfa itu pun menghampiri meja rega dan anastasya sembari meletakan dua gelas lemon tea pesanan mereka.

"apa harus 7 hari dalam seminggu kalian selalu ada disini?" seru alfa dengan gimik kesal,

Baik rega maupun anastasya hanya bisa mengangguk sambil mengulum senyum. Alfa yang kehabisan akal untuk mengusir kedua temannya itu hanya bisa kembali menyibukan diri dengan pekerjaannya sekarang.

"lemon tea?" seru anne dari arah samping, rega dan anatasya tersenyum

"the best ever mbak anne...duduk mbak" ujar anastasya menawarkan

"jadi kalian masih menunggu?" tanyanya lagi

"hmmm" rega mengangguk pelan "aku nggak tau sampe kapan alfa sadar dan kembali, jadi yang bisa kita lakuin cuma nunggu mbak anne..." anne hanya membalas jawaban rega dengan senyuman lirih.

"terimakasih banyak hingga detik ini ya mbak, kalo aja mbak anne nggak ngijinin alfa berbuat semaunya kayak gini...kita gak tau harus bagaimana lagi ngehadepinnya" seru anastasya.

Anne menatap dua pasang mata yang ada dihadapannya saat ini, dua pasang mata yang sejak 4 bulan lalu kerap hadir mengisi senyap yang merobek hatinya, senyap yang timbul atas irama yang bernama kehilangan.

Sementara Alfa masih larut dengan kesibukan yang bahkan tidak mampu ia mengerti kenapa harus ia lakukan, Seolah sedang mencari, seolah ingin mengingat tapi begitu sulit rasanya.

4 bulan, sudah sejak 4 bulan ia hanya bisa menatap piano usang itu tanpa firasat apapun..hanya mampu menyentuh tiap tuts baloknya tanpa mampu di dentingkan, ada rasa sesak menyergap terkadang namun alfa tak mampu menterjemahkannya.

* * *

"laki laki mana fa??" seru rega geram

"aku juga nggak tau ga, tapi tolong cari dia...cari dia?!!" pekik alfa, rega menatap kedua bola mata alfa dengan marah.

Sejak terbangun dari koma 4 bulan lalu, setelah secara tiba-tiba alfa rutin datang ke cafe mba anne dan menganggap dirinya sebagai pegawai ditempat itu, lalu sekarang apa lagi??, mencari laki-laki yang bahkan alfa sendiri pun tak tahu siapa ?

Ingin rasanya rega menghempaskan tubuh ke tanah, karena memaki alfa yang seperti ini lebih tidak mungkin rasanya.

Alfa menerawang jauh ke belakang, kini tiba tiba saja ia mengingat seorang laki-laki yang kerap hadir dalam mimpinya. Seolah laki-laki itu memang pernah ada di masa silam, Seolah keberadaannya cukup penting karena hasrat untuk menemukannya menjadi jauh lebih besar.

"kamu menyukainya ?" tanya laki-laki itu menarik perhatiannya,

"hmmm" alfa mengangguk sambil masih terus memandangi piano usang dari balik dinding kaca

"aku bisa memainkan beberapa lagu" serunya sambil tersenyum

"benarkah ??" kedua mata alfa membulat "berarti kita bisa bermain bersama ?, pasti menyenangkan" alfa tertawa

"tapi aku lebih suka menikmatinya, jika tidak keberatan...maukah kamu memainkan satu lagu untukku?" seru laki-laki itu bernada jenaka

"lagu apa?"

laki-laki itu mengeluarkan sepasang headsfree dan melingkarkan salah satu bagiannya ke telinga alfa, terdengar musik bernada semangat didalamnya. Alfa dengan khusyuk mendengarkan tiap bait lagu itu, sebuah lagu asing dengan lirik sederhana. Meski bukan genre musik yang biasa ia bawakan disetiap pertunjukan, entah mengapa alfa menyukainya

"bagaimana ?" tanya laki-laki itu kembali

"aku akan memainkannya, tapi jika hanya kamu bersamaku" alfa mengaitkan jari kelingkingnya ke jari laki-laki itu "janji ??"
laki-laki itu pun mengangguk

* * *

"ini udah nggak beres an?!! aku nggak tahan ngeliat alfa kayak gini?!! mau sampe kapan kita ngebiarinin alfa bertindak sesukanya??, dia lupa mengenai kecelakaan itu, dia lupa karirnya sebagai pianis, dia lupa dengan keluarganya, dia lupa sama kita?!!" seru rega geram

"tapi kita nggak bisa maksa alfa untuk inget semuanya ga...kamu inget kan dokter bilang apa? alfa bisa depresi karena berusaha mengingat itu semua...alfa butuh waktu.." sahut anastasya

"sampe berapa lama? setahun? dua tahun?...sampe berapa lama lagi?? kita harus paksa alfa untuk balik, karena sekarang dia udah mulai mencari orang yang bahkan entah ada atau tidak didunia ini?!!"

"rega...kita cuma harus support penuh ke alfa, biarin alfa menjalani kehidupan yang dia percayai...seperti dulu kita percaya bahwa menjadi seorang pianis adalah pilihan alfa untuk tetap hidup"

Rega mengehembuskan nafas panjang dan berat, ia menarik seluruh rambutnya ke belakang "aku cuma takut...takut alfa tidak pernah kembali" seru rega lirih.

Alfa menatap meja kosong yang biasa ditempati rega dan annatasya selama ia bekerja, sedikit kecewa karena mereka tidak datang hari ini, sambil terus melakukan pekerjaan-pekerjaan hariannya kedua matanya pun kembali terpaut ke arah piano usang itu. "ada apa sebenarnya?" pikir alfa, mengenai semua ingatan-ingatan yang tiba-tiba muncul belakangan membuat alfa bertanya-tanya, apa benar dia mampu memainkan alat musik itu.

"coba lah..." seru anne membuyarkan lamunannya

"ya mbak?" sahut alfa gelagapan

"piano itu...kamu selalu menatapnya seolah ingin melahapnya habis tanpa sisa" anne tersenyum, sementara alfa tertawa lirih

"aku hanya menerka-nerka, apa mungkin di masa lalu aku benar-benar bisa memainkan piano. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, sepertinya tidak mungkin" alfa kembali tertawa

"disini hanya ada satu orang yang bisa memainkan piano itu, bahkan piano itu sengaja ia seret ke cafe ini hanya untuk ia mainkan dikala senja dan malam" alfa seketika menatap penuh perhatian ke arah anne "tapi itu dulu, dulu saat orang itu masih ada..." raut wajah anne berubah muram. Alfa tidak mengerti, tapi rasanya ia mengerti perasaan kehilangan itu. Ia menggenggam tangan anne dengan hangat

"cobalah sesekali..." anne kembali tersenyum hangat ke arah alfa, alfa mengangguk enggan

* * *

[Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang diselenggarakan oleh Muskimia, Nulisbuku.com dan Storial.co]

Jumat, 20 Mei 2016

Sebutir Cinta dari Gayo

Ben dan Jody masih melanjutkan perjalanan bersama filosofi kopi member berkeliling Nusantara, sudah banyak tempat yg mereka sambangi untuk hanya sekedar berbagi kopi dan tak jarang tinggal dalam waktu cukup lama untuk menikmati kopi di tempat tempat indah di tiap sudut nusantara. Kali ini ben dan jody bukan hanya mendapatkan banyak pengalaman dan ilmu baru mengenai meracik kopi dari berbagai tempat saja tapi juga selalu ada cerita di tiap perjalanannya.

Dan kali ini daerah yg mereka sambangi adalah Kute Panang, Aceh tengah, NAD. Surganya sumber kopi terbaik se-Nusantara Indonesia Kopi Gayo, sebenarnya ini bagian dari hasrat kecil seorang ben yang bisa jadi jody sebagai sahabat karibnya pun menganggap perjalanan ini sedikit berlebihan. Bagaimana tidak, mobil VW combi double face yang mereka kendarai agaknya akan sedikit bekerja ekstra menyambangi daerah di paling barat indonesia itu.

pertama kali menginjakan kaki di kute penang, 1 kilometer sebelum desa wih nongkal. Kekhawatiran jody pun terbukti, mobil itu pun mogok dengan sempurna. Suaranya berderit-derit minta di istirahatkan, jody menjadi orang yg pertama kali turun dari balik stir. menderapkan kaki dengan cepat sambil merecau meluapkan kekesalannya, ben yg terlihat lebih santai hanya mengekor sembari membantu jody mengecek ketidak beresan mobil mereka. Asap mengebul keluar dari dalam kap, dan hal ini membuat jody semakkn berang.

Hampir saja mereka kembali perang mulut andai nadia tak segera menyergah mereka dengan cepat. nadia mencoba mendamaikan keadaan yg sudah terlanjur memanas, dan meminta ben dan jody untuk mencari jalan keluar karena hari sudah mulali larut. Beruntung tak lama ada sebuah mobil pickup melintas didepan mereka, seorang pria paruh baya dibalik kemudi turun menanyakan kondisi pelik itu. Tanpa basa basi menawarkan mereka untuk ikut ke desa bersamanya, pak Sarhan namanya.

ben, jody, nadia dan 2 pegawai filosofi kopi lainnya pun bergegas mengambil barang dan memindahkan semua muatan ke atas mobil pickup pak sarhan. soal memindahkan barang ini pun tak lepas dari perdebatan, ben bersikeras bahwa semua peralatan kopinya harus ikut di angkut. Karena meski pak sarhan bilang meninggalkan mobil dipinggir jalan aman-aman saja, ben tetap masih khawatir kehilangan semua benda berharga mainannya itu.

Perjalanan filosofi kopi ke desa harus ditempuh dengan langit berbintang sebagai atap mereka, suara deru mesin yg setengah rongsok dari mobil pickup pak sarhan. Serta suara senyap malam desa yg begitu mendamaikan, berikut hamparan bukit yg dipenuhi oleh pohon kopi diatasnya. ben dan jody saling pandang, kekesalan itu pun luruh sudah berganti dengan senyum nan damai.

hanya butuh waktu 20 menit, hingga akhirnya pak sarhan memarkirkan mobil pickupnya di sebuah pelataran rumah. Masih banyak aktifitas yang terlihat disana, beberapa lelaki paruh baya seumuran pak sarhan dengan sarung yg melingkar di badan serta ibu-ibu yg masih mengenakan atasan mukena sambil menggenggam anak-anak mereka yg menggemaskan. Pandangan mata ben pun tak lepas dari mereka.

rutinitas pengajian setelah sholat jamaah urai pak sarhan kemudian, lalu pak sarhan pun mempersilahkan rombongan filosofi kopi masuk ke dalam rumahnya. Tidak bisa dibilang sederhana, tapi tidak terlalu besar juga. Bagian depan seperti rupa rumah-rumah desa lainnya, berjejer kursi dari kayu dan dipan-dipan yang biasa dijadikan ruang bertamu. Menelisik jauh kedalam, terdapat beberapa ruangan yang entah bisa jadi kamar tidur atau ruangan lainnya. yang jelas terdapat pintu di bagian belakang yg terbuka yg terlihat jelas dari pintu masuk.

pak sarhan menyediakan makanan dan kopi gayo tentunya, ia bergurau mengenai betapa beruntungnya rombongan filosofi kopi bisa menyicipi kopi ter enak se nusantara itu apalagi diracik olehnya. Ben pun tak ayal memuji, karena memang kopi itu benar-benar enak rasanya. beruntung bagi ben dan jody karena mereka terdampar di tempat yg tepat.

tak lama pintu digebrak dengan kasar, seorang gadis muncul sambil merecau kasar. memaki seseorang mungkin sekelompok orang yg tak ia tahu siapa yg menurutnya membuat dia hampir celaka karena sudah meninggalkan mobil dipinggir jalan begitu saja tanpa pertanda. gadis itu hannah, putri sulung pak sarhan.

ben dan jody bangkit menjelaskan perihal mobil filosofi kopi yg dijadikan persoalan oleh hannah, meminta maaf tentu saja meski ben melakukannya dnegan setengah hati. hannah yg menangkap raut tak senang dari wajah ben menunjukan wajah skeptisnya lalu pergi berlalu begitu saja dari hadapan mereka

pak sarhan kemudian tertawa, memaklumi keadaannya. Wajar jika hannah marah karena di sepanjang jalur desa penerangan begitu kurang, andai saja ada yg tidak hati2 pasti sudah terperosok ke sisi jalan. Salahnya juga tidak memperingati di awal. Jody hanya bisa melemparkan senyum tak enak di hadapan pak sarhan.

hari-hari berikutnya ben dan jody mulai sibuk merunut kegiatan pak sarhan, berkunjung ke kebun kopi. melihat proses pengolahan kopi hingga bisa dikatakan siap untuk dijual, pak sarhan dan petani lainnya hanya menjual greenbean. beliau bilang dipasaran harganya lebih tinggi daripada redbean, hanya saja tak semua petani sepaham sepertinya. karena untuk membentuk biji kopi hingga menjadi greenbean butuh proses yg tidak mudah.

Pak sarhan hanyalah seorang petani yg lebih beruntung, karena ia menanam serta mengolah biji kopi diatas kebun nya sendiri. karena sebagian besar petani disini menggarap lahan orang lain, yang mungkin penghasilannya pun hanya cukup untuk makan sehari-hari.

ben sempat bertanya2 mengenai keberadaan putri semata wayang pak sarhan, rombongan filosofi kopi sudah hampir seminggu mendiami rumah mereka tapi terakhir mereka hanya bertemu dimalam pertama ketika mereka menginjakan kaki di rumah itu.

pak sarhan angkat bicara, belia mengatakan bahwa hannah tak pernah ingin tinggal disini. pak sarhan tidak menyebutkan kata rumah, jadi bisa jadi maksudnya disini itu di desa wih nongkal ini. pak sarhan juga mengatakan, bahwa tak sedikitpun putri nya itu menyukai hal-hal yg berbau kopi. Entah karena apa iapun tak begitu mengerti, sejak kecil hannah selalu marah jika menyinggung soal kopi. tidak seperti anak-anak lain yg kerap riang bermain disekitar kebun kopi, hannah memilih menyendiri jauh dari desa. Setelah lulus SMA pun hannah memilih tinggal di luar desa, kebetulan kakek neneknya memang tinggal diluar wih nongkal. Suatu waktu hannah pernah berkata ia akan pergi lebih jauh, dan untuk mempersiapkan hal itu semua dibandingkan dgn mendaftar di perguruan tinggi hannah lebih memilih mengikuti kursus, entah itu bahasa asing maupun lainnya. Pak sarhan tidak begitu tahu pasti.

Dengan wajah kebingungan ben pun bertanya mengapa sampai ayah nya sendiri tidak mengetahui apa yg sedagn dikerjakan putrinya. Pak sarhan menunduk, terlihat segurat kesedihan dari wajah layunya. setelahnya pak sarhan mulai bercerita mengenai ibu hannah yg sudah meninggal sejak melahirkannya, pak sarhan mengungkapkan betapa menyesalnya ia telah merebut hak hannah untuk merasakan kasihsayang ibunya. Jadi dia memilih untuk menyerahkan semua kepada hannah seorang, mengenai apa yg ingin ia lakukan, mengenai mimpi2nya. Ia tak mampu bertanya, karena pak sarhan merasa apa yg ia lakukan hingga kini belum pernah cukup untuk hannah. Karena tak sekalipun ia pernah melihat putrinya itu tersenyum. ben pun ikut terdiam, ada sesuatu yg mengusik hatinya tiba-tiba.

keesokan pagi nya nadia minta diantar ke kota, dia bilang ada paket yg dikirimkan suaminya dari jakarta. Ben dan jody pun menawarkan diri untuk mengantar, sekalian berkeliling daerah sekitar. jody berinisiatif menemani nadia ke tempat jasa antar tsb, nadia yg memang sudah tak sabar untuk melihat isi dari paket itu pun membuka bungkusnya dengan antusias, jody hanya tersenyum melihat kelakuan karyawannya yg satu itu. Karena bagaimanapun juga nadia merupakan satu2nya karyawan yg sudah berkeluarga dan bersedia ikut berkeliling bersama member lainnya. Pertimbangan ini pun di ambil nadia karena sebenarnya, setelah perjalanan ini berakhir nadia pun akan pergi meninggalkan filosofi kopi.

paket itu berisi foto suaminya yg sedang berada tarakan , kalimantan utara. tepat 4 bulan setelah mengalami kecelakaan terakhir, suami nadia berhasil mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Di salah satu perusahaan tambang di sana, tak kuasa nadia menahan air matanya karena rindu yang begitu menggebu. Tempat itu akan menjadi tempat dimana nadia akan menjalani hari-harinya bersama suami nya kelak. Jody menggenggam bahu nadia kuat2, bagaimanapun juga nadia merupakan kesayangan semua member filosofi kopi.

Di lain tempat, ben justru menyinggahi beberapa warung kopi. Mencoba mencicipi cita rasa kopi gayo yang luar biasa itu, dan ia dikejutkan oleh kehadiran hannah, anak pak sarhan. lagi-lagi dalam situasi tak menyenangkan, hannah terlihat sedang beradu mulut dengan salah satu pengunjung warung. dan setelahnya ben pun mendengar suara denting cangkir kopi yang hancur menabrak lantai, pengunjung itu yang melakukannya. Ben bergegas menghampiri hannah hingga akhirnya langkahnya harus terhenti, karena hannah menampar laki-laki itu dan dengan keras menjatuhkannya ke lantai. hannah berteriak, sehingga ben dengan amat sangat jelas mendengar semua kalimat yg hannah lontarkan berikutnya.

Ben menemui jody dan nadia di parkiran mobil, menanyakan mengenai paket yang nadia terima dan tak lupa menanyakan kabar suami nadia di tarakan. seketika semua perkataan hannah terngiang2 dalam benaknya, ben pun kembali flashback ke kejadian di warung kopi itu. Sebenarnya masalahnya sederhana, laki-laki itu menolak membayar kopi nya karena merasa kopi itu tidak enak meski sudah diminum separuh, tapi yang membuat hannah benar2 marah adalah rasa tidak menghargai lelaki itu atas upaya si pemilik warung yg sudah membuatkan kopi untuknya, dibilang tak enak pun tak mengapa, tapi mengapa harus menolak bayar padahal harganya tak seberapa. dan yg menjadi concern ben bukan lagi mengenai perdebatan soal bayar dan tak membayar, tapi mengenai hannah. Dibanding dengan cerita pak sarhan mengenai kebencian hannah dengan kopi, disitu ben malah melihat hal sebaliknya.

Ben pun memutuskan hal yg gila, ia minta jody dan nadia untuk kembali ke desa tanpanya. ben meyakinkan mereka bahwa ia akan menyusul dengan segera, meski tak yakin dengan apa ia akan kembali ke wih nongkal. Ben kembali ke warung kopi tempat ia melihat hannah, tapi ia sudah tidak ada. ia pun bertanya kepada si pemilik warung, dan mengejutkan pemilik warung itu mengenal hannah dan bahkan tahu dimana ia tinggal. Ben pun segera bergegas mencari alamat yg diberikan si pemilik warung, alamat itu pun ternyata tidak terlalu jauh dari pusat kota. sesampainya disana, ben melihat sepasang lansia yg tengah bercengkrama mesra di pekarangan rumah. Setelah memastikan mendapatkan ijin untuk dapat masuk ke dalam rumah, ben pun mengutarakan maksud kedatangannya untuk bertemu dengan hannah. Sepasang lansia itu merupakan kakek dan nenek hannah dari pihak ibu nya, mereka meminta ben menunggu karena hannah biasanya pulang menjelang malam.

selama berada dirumah kakek dan nenek hannah, ben pun meminta ijin untuk berkeliling rumah untuk melihat2. di ruangan utama terdapat banyak sekali pigura yang memuat foto hannah, pak sarhan, kakek dan neneknya dan mungkin ibunya hannah sedikit tidak yakin karena ben tidak menemukan foto apapun dirumah pak sarhan sebelumnya. di dinding itu selain foto juga terdapat banyak plakat dan piagam atas nama hannah, dan lagi-lagi ben pun terkejut menyadari bahwa gadis ini benar-benar cerdas di usianya tanpa status akademik lain selain ijasah sma.

hannah datang dari arah belakang, bergegas menemui ben karena sejak pertama kali datang beberapa saat yg lalu, kakek dan neneknya mengatakan bahwa ada teman nya yg bernama ben datang untuk menemuinya. Tentu hannah heran karena ia tidak pernah memiliki teman bernama ben. ben berbalik menatap hannah, seketika hannah terkejut bukan main melihat penampakan sosok pria yg seingatnya pernah membuatnya kesal setengah mati.

ben menyapa hannah duluan, yg tentunya dijawab ketus oleh hannah. tanpa basa-basi hannah meminta ben pergi karena mereka tidak punya urusan satu sama lain dan ia pun tak ingin memiliki urusan apapun padanya. Ben tersenyum sinis, ia pun mulai memancing hannah mengenai kejadian di warung kopi petang tadi. Meski agak terkejut mengenai kenyataan ben ada ditempat kejadian tanpa sepengetahuannya hannah memilih mengabaikan pernyataan ben dan dengan tegas kembali memintanya untuk pergi. Ben tak menyerah, meski keingintahuan ini hanya berasal dari rasa penasarannya saja ben tetap butuh jawaban atas keganjilan yg ia lihat. ben kembali bicara dan mengatakan bahwa hal yg aneh bagi seorang hannah yg membenci kopi tapi seperti terlalu peduli dengan kopi.

Dengan tatapan sinis hannah bertanya kepada ben apakah ayahnya yg mengatakan hal itu kepadanya, ben pun mengangguk. tiba-tiba saja kedua mata hannah membasah, ben tertegun. tak menyangka mendapatkan respon serapuh ini dari hannah, ben meminta waktu hannah, memintanya bersedia untuk bercerita.

Hubungan hannah dan pak sarhan mungkin sudah memburuk sejak lama, kehilangan seoran istri saat anaknya bahkan belum menyentuh asi. merasa terpukul akan kehilangan istrinya, pak sarhan juga merasa bersalah sudah membesarkan hannah dalam ketidak pantasan menurutnya. Saat itu selama beberapa tahun, hasil kebun sedang tidak begitu baik. Lagi2 pak sarhan lebih memilih sibuk memikirkan cara untuk menyelamatkan nasib kebunnya juga rekan2 petani kopi lainnya dibanding memperhatikan hannah. Sehingga hannah benar2 tumbuh menjadi anak yg tertolak, ia melakukan sesuatu yg bertolak belakang dgn apa yg diinginkan pak sarhan sehingga beliau tak pernah membebani apa-apa lagi kepadanya. Seketika hannah benar2 merasa terasingkan, ia memilih pergi jauh dari desa dan tinggal di rumah kakek nenek nya. Siapa bilang hannah tak cinta dengan kopi, kopi-kopi itu yg membuatnya masih hidup hingga kini, ia hanya tak kuat melihat para petani yg bekerja sekeras itu tapi tidak mendapatkan penghasilan yg memadai. padahal diluaran sana mereka selalu bilang kopi mereka lah yg terbaik se nusantara, hannah bukannya tidak tahu perkembangan kopi di negri ini. Ia bahkan tau persis indonesia sebagai penyumbang kopi terbesar ke-4 di dunia, meski dulu...dulu sekali pernah menjadi yg pertama di saat belanda masih menjajah nusantara.

Segala macam cara sudah hannah lakukan untuk memperbaiki nasib warga desa nya, mengajukan jurnal disertasi nya mengenai pertanian kopi yg ada di Wih Nongkal, berharap GAEKI (Gabungan ekportir kopi indonesia) bahkan ICO (International Coffee Organization) bisa berbuat sesuatu untuk para petani kopi itu. Bagaimanapun juga sudah secara turun temurun hannah dan juga ayah bahkan para leluhurnya mengabdikan diri sebagai petani kopi, jadi bagaimana mungkin ia membenci kopi. Sesuatu yg sangat dicintai ayahnya.

Warga Wih Nongkal juga masih bergantung kepada para tauke (tengkulak) karena mereka merasa tak mampu mengelola hasil panen sendiri, sehingga tidak pernah ada perkembangan dari tahun ke tahun nya. Pernah beberapa kali pemerintah daerah datang untuk mengenalkan cara menggunakan mesin penggiling kopi, tapi untuk apa? mereka petani bukan barista. yang mereka butuhkan adalah bagaimana cara memanajemen hasil panen dan penjualan kopi secara mandiri. tapi warga begitu apatis mengenai suatu perubahan, hal itulah yang hannah benci sebenarnya.

Ben menyadari perbincangan kali itu tak lagi mengenai ideologi akan kecintaannya pada kopi, lebih besar dari itu. Ini mengenai hajat hidup orang banyak yg kebetulan bergantung dari kopi. Nenek hannah menghentikan pembicaraan mereka dengan menyuguhkan 2 cangkir kopi untuk mereka nikmati, dengan perlahan ben mencium aroma kopi gayo dengan khidmat lalu menyeruputnya secara perlahan. Hannah pun melakukan hal yang serupa, ben semakin yakin bahwa hannah bahkan bisa menikmati dan menghargai secangkir kopi yang berada digenggamannya lebih dari dirinya sendiri.

Ben kembali bertanya, kenapa hannah memilih untuk jalan sendiri bahkan ben menanyakan disertasi yang menjelaskan sebetulnya hannah melanjutkan pendidikannya di universitas. meski sedikit kebingungan di usianya yg jelas jauh lebih muda dari dirinya bagaimana mungkin hannah sudah mendapat gelar doktor. Hannah tertawa sambil mengatakan mungkin ayahnya lupa mengatakan bahwa hannah sudah lulus SMA disaat usianya bahkan masih 15 tahun, dia murid cerdas sehingga sering lompat kelas, dan hannah pun bilang dia memiliki waktu yg cukup untuk menyelesaikan pendidikannya di usianya yang masih 24 tahun saat ini. hannah menyesali karena ayah nya tak tahu apa-apa, hannah hanya takut melangkah, karena dinding yang ia dan ayahnya buat sudah terlanjur berdiri kokoh sejak lama. meski sesekali mereka tinggal satu atap, tak pernah sekalipun mereka bercengkrama layaknya ayah dan anak, bahkan antara manusia sosial sekalipun.

Sambil kembali menyeruput sisa kopi gayo dicangkirnya, ben pun kembali bertanya mengenai pernyataan pak sarhan mengenai kepergian hannah ke tempat yang jauh. Dan ternyata hannah mendapatkan beasiswa di brasil, ia akan berusaha dari 0 lagi untuk mendapatkan ilmu apapun dari sana yang bisa ia bawa untuk perkembangan desa nya. ia akan memperjuangkan kopi gayo miliknya agar bisa berperan di kancah dunia sehingga desanya bisa mendapatkan perhatian lebih dan turut mensejahterakan warga nya.

Ben mendapatkan pelajaran berharga kali ini, dari seorang gadis berusia 24 tahun yang memiliki obsesi luar biasa mengenai sebutir biji kopi. tak lama ben pamit, dan mengatakan kepada hannah bahwa jangan terlalu lama meninggalkan ayahnya sendirian di rumah. Hannah pun membalas, selain rasa benci dan cinta tentu ada rindu. mungkin suatu saat nanti ia akan benar2 kembali ke desanya. Ben juga sekalian pamit karena kemungkinan lusa dia akan kembali ke jakarta, dan meminta hannah jika ada waktu dan sedang berada disana mau datang ke kafe filosofi kopi. Hannah mengangguk sambil tersenyum.

Hari itu tiba, hari dimana ben, jody, nadia dan 2 rekan kerja lainnya harus benar2 meninggalkan desa wih nongkal. Ia berpamitan kepada pak sarhan dan tak henti2 nya mengucapkan banyak2 terimakasih karena sudah diterima dengan baik dan diajarkan banyak hal mengenai kopi gayo meski tanpa kehadiran hannah.

Filosofi kopi pun akhirnya melanjutkan perjalanan kembali, perjalanan pulang yang begitu membekas khususnya bagi ben. Akan ada banyak perubahan setibanya mereka di jakarta nanti tentunya.

Merelakan kepergian nadia, kembali disibukan mengenai pembukan filosofi kopi kembali dengan tambahan menu kopi yang sudah mereka genggam dari perjalanan hampir setahun itu tentunya dan yang terpenting. Rasa lebih menghargai kopi dari seorang hannah.

Setahun menjelang, disaat suasana filosofi kopi tengah sibuk2nya. Kafe filosofi kopi kedatangan tamu istimewa, terutama bagi ben. Hannah, gadis desa yg ia kenal setahun yang lalu di desa wih nongkal datang dengan sebongkah senyum yang luar biasa, yang tentu membuat jody dan pegawa filosofi kopi lainnya terheran2 karena peristiwa yg mereka ingat justru sesuatu yg tidak menyenangkan. Ben dan hannah kembali berbincang melalui secangkir kopi, hannah menceritakan apa yg sudah ia capai hingga kini. Bantuan dari ICO yang berhasil ia dapatkan dan kini petani kopi di desa wih nongkal perlahan sudah bisa mandiri dengan mengelola hasil panen kopi secara swadaya bersama warga desa. dan tak lupa memuji kopi hasil racikan ben yang saat ini ia minum dengan sebutan 'teristimewa', mereka pun tertawa bersama.

Filosofi Kopi Gayo : Seperti nafas, dia begitu dekat hanya diri sendiri yang mampu merasakannya

Cerita ini dibuat dalam partisipasi http://filosofikopi.id/benjody/

Selasa, 16 Februari 2016

Mengenai Hujan


"Hai Hujan, aku tak merindukanmu hari ini...bisakah kau datang saja nanti ?"



Kadang ketika rindu, aku akan berdoa sepanjang malam agar ia hadir, agar ia segera datang, agar ia ada menemani.

Namun tak jarang jika tak ingin ia ada, aku berhenti menyapa, berhenti menyadari keberadaanya, berhenti seketika.

Mengingatnya, mengingatkanku akan perang pertama kita, aku di sudut yang satu dan kau disudut yang lain nya, kau menggunakan kedua tanganmu sementara dengan sedikit kreatif ku gunakan ember kelas yang biasa digunakan untuk menampung tetesannya dari salah satu celah genteng sekolah kita yang bocor, dan setelahnya kita pun lebur dalam basah.

Mengingatnya, mengingatkanku akan cinta yang tiba-tiba datang dan mengusik kita, karena kau yang pertama dan ada sosok lain yang kujadikan setelahnya, membius dan memaksaku mendendangkan lagu tentang hujan dari uthopia berulang-ulang.

Mengingatnya, mengingatkanku akan pertemuan terakhir kita, yang saat itu hanya duduk berdua, menunggu ia reda sambil bercerita tentang masa yang sudah lama lewat.

Bukan hanya karena rintikannya yang menentramkan, bukan juga karenanya waktu terasa berhenti sesaat. Tapi ada satu harap yang selalu menggema...apakah ada pelangi setelahnya? karena kemungkinan itu selalu ada, membuatku rela selalu setia.

Banyak cerita tentang aku dan hujan, ya...mungkin terdengar terlalu melankolis, tapi biar saja...hubungan ku dengan hujan biar menjadi urusanku saja.


Hujan Pagi ini yang tak lagi sama
(17-02-2016)
By. Hamdatun Nupus

Senin, 15 Februari 2016

Pernah Patah Hati ?, Aku Pernah. . .

Ini kisah para penjelajah alam, para penakluk ketinggian dan para pengagum keindahan. Mungkin terdengar berlebihan, tapi tidak bagi kami.

Mungkin banyak yang memilih untuk berplesiran menjelajah pantai untuk mengagumi keindahan terumbu karang dari dalam laut. Atau memupuk suka cita di taman hiburan dimana kita bisa berteriak sekeras-keras nya sekaligus tertawa yang lebar, dan kami memilih untuk mendaki gunung.

Sudah banyak gunung yang kami daki, baik secara bersama maupun sendiri-sendiri dengan kawanan lain. Dari yang tingginya diatas 2000-an MDPL hingga yang mendekati 3000-an MDPL, tapi kisah yang akan coba ku ceritakan ini adalah kisah patah hati kami dalam mendaki, iya...patah hati karena tidak berhasil menjejakan kaki di puncak pangrango Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Bogor Jawa Barat.

Kami berenam, terdiri dari aku sendiri, ka hayu, ka wiwit, kei, benny dan sugeng. Sebenarnya acara pendakian kali ini terbilang mendadak, karena direncanakan hampir mendekati tanggal keberangkatan, berbekal perlengkapan seadanya dengan tujuan satu hari pendakian (Naik dan turun di hari yang sama).



Kiri ke kanan → Sugeng, Kak Hayu, Benny, Kei, Aku dan Ka Wiwit

Hari sabtu mendekati tengah malam  kami ber-enam berkumpul di rumah kei yang berada di daerah pekapuran depok, memasukan semua perlengkapan dalam satu tas cerrier dan satu tas daypack yang keduanya akan dibawa oleh para pria nantinya. Setelah mengisi perut-perut yang kosong kami pun akhirnya berangkat menuju bogor mengendarai motor dengan saling berboncengan, aku dengan benny, ka hayu dengan sugeng dan ka wiwit dengan kei.

Sampai di area jalur pendakian Cibodas sekitar pukul 3 pagi, kei berinisiatif mencari penginapan di area basecamp pendakian untuk kami. Lumayan lah untuk mengistirahatkan tubuh sebelum mendaki setelah kurang lebih tiga jam berada diatas motor dan akhirnya dengan mudah kami pun terlelap.

Pagi-pagi sekali kami kembali bergerak, membersihkan diri dan sarapan tentunya. Bercengkrama dengan pemilik penginapan dan para pendaki lain yang baru saja turun dari jalur pendakian yang sama-sama tengah menyantap sarapan bersama kami. Anggota kami yang berjumlah enam pun bertambah, ternyata kei menghubungi beberapa teman nya yang lain beberapa hari sebelumnya untuk mendaki bersama dan personil kami pun menjadi genap bersepuluh ditambah bang sony, ka nisa, agus dan chika.

Tanpa membuang-buang banyak waktu lagi, segera saja kami bersepuluh bergegas menuju pos pertama jalur pendakian Cibodas yang jarak tempuhnya hanya sekitar lima belas menit dengan berjalan kaki dari penginapan. Pendakian kami sebenarnya cukup ber-resiko, karena kami secara ilegal hanya membeli tiket air terjun cibereum dengan tujuan puncak pangrango. Seperti yang sudah kukatakan, bahwa agenda penanjakan itu begitu minim persiapan. Just For Information untuk bisa melakukan kegiatan pendakian dibutuhkan surat perizinan SIMAKSI yang harus di urus minimal satu bulan sebelum pendakian, jadi tindakan ilegal kami ini jangan di tiru ya :).

Kami bersepuluh pun dengan bersemangat memulai perjalanan dengan santai, sebagian besar dari kami sudah sangat familiar dengan jalur pendakian cibodas yang jalanannya tersusun atas bebatuan yang ditata dengan rapih. Dikanan-kiri pun dipenuhi semak belukar dan pepohonan yang menjulang tinggi, setelah melewati pos telaga warna, pos air terjun cibereum, pos kandang batu dan pos air panas akhirnya kami pun berhasil sampai di pos kandang badak untuk ber istirahat. Dimana disana sudah banyak sekali tenda-tenda para pendaki yang sudah lebih dulu datang dihari sebelumnya, kami sengaja hanya istirahat sebentar hanya untuk makan siang, sholat dan meregangkan otot-otot yang lelah setelah kurang lebih lima jam berjalan menanjak yang nyaris tanpa istirahat panjang.

Sekitar pukul satu siang, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju persimpangan yang memisahkan antara jalur puncak gede dengan jalur puncak pangrango, dan dengan mantap kami pun melangkahkan kaki menelusuri jalur puncak pangrango. Berbeda dengan jalur puncak gede yang masih didominasi bebatuan besar dengan perbedaan ketinggian yang cukup curam, jalur puncak pangrango lebih didominasi pepohonan besar dengan lebar jalan yang terbilang sempit dan suhu udara yang cukup lembab, hal ini pun membuat  jalur puncak pangrango terlihat lebih gelap dibanding jalur puncak gede.

Tapi aku jatuh cinta akan jalur nya, membuatku ingin terus melakukan parkour dan free running sehingga kerap diingatkan oleh rekan-rekan yang lain untuk berhenti dan menunggu rekanku yang tertinggal jauh dibelakang. Semakin ke atas jalur puncak pangrango semakin gelap, ku rasa karena faktor awan kelabu yang menandakan akan datangnya hujan sehingga cahaya matahari sulit menembus jalur pendakian kami.

Di awal kami berkomitmen jika dalam rentang waktu 2 jam tidak berhasil mencapai puncak, maka kami akan menghentikan pendakian dan kembali turun. Aku menyepakatinya karena tak sekalipun terbesit untuk mundur, tapi nyatanya alam sedang tidak bersahabat tepat pukul tiga sore gerimis itu pun datang dan membuat kami harus memutuskan untuk kembali secepatnya. Terlalu beresiko berada ditengah jalur pendakian dalam kondisi hujan, dan dengan langkah gontai setengah terpaksa menahan sakitnya patah hati tidak bisa menyentuh puncak pangrango aku pun harus rela mengekor dari belakang.

Namun perasaan sakit itu pun terganti dengan rasa syukur karena tak lama setelah turun gerimis, badai hujan besar pun datang. Hujan yang tak memberi sedikitpun waktu bagi kami untuk lengah, kami memutuskan untuk tetap melangkah ditengah hujan di hari yang sudah menggelap. Tak bisa kubayangkan seandainya saja kami masih berada di jalur pendakian puncak pangrango yang sempit itu.

Dengan tubuh yang kepayahan serta tenaga yang nyaris habis dan beberapa diantara kami ada yang sakit akibat sesekali sempat terjatuh, membuat langkah kami melambat. Dan percaya atau tidak kami baru bisa sampai kembali di basecamp tengah malam, itu artinya kami membutuhkan waktu hampir 2x lebih lama dibanding saat naik, itu tidak normal karena seharusnya waktu tempuh turun bisa setengah lebih cepat dari waktu tempuh saat naik.

Tapi kami tetap bersyukur, meski gagal mencapai puncak pangrango kami bisa kembali dalam keadaan utuh dan selamat  :D


Kiri ke kanan → Kei, Bang Sony, Agus, Kak Hayu, Kak Wiwit, Kak Nisa, Aku, Chika, Sugeng, Benny

Catatan perjalanan ini pernah dimuat sebelumnya di :
http://pernahdotcom.blogspot.co.id/2015/01/pernah-patah-hati-aku-pernah.html
dengan author yang sama

By. Hamdatun Nupus

Jumat, 29 Januari 2016

Desa Tertinggi di Pulau Jawa Itu Bernama Desa Sembungan

Saya memang memiliki tubuh yang tidak semampai, terbilang kecil malah tapi saya justru menyukai hal-hal yang berbau dengan ketinggian, salah satu contohnya mendaki gunung. Mendaki gunung memang hobi yang baru saja saya geluti 2 tahun belakangan ini, tapi perjalanannya membuat saya terlanjur jatuh cinta untuk berhenti. Hingga akhirnya hobi itu pun meluas, sehingga saya menjadi begitu mudah jatuh cinta dengan alam dan menikmati setiap inchi keindahan yang dimiliki negeri tercinta yang tak akan pernah ada habisnya ini menjadi salah satu tujuan dalam hidup saya.
Bicara mengenai ketinggian, kali ini saya akan membawa kalian menuju desa tertinggi di pulau jawa Indonesia. Desa Sembungan namanya, terletak di dataran tinggi Dieng Wonosobo Jawa Tengah. Dengan ketinggian 2.306MDPL bisa dibayangkan seberapa ekstrem suhu menggigit disana ?.
Bulan desember identik dengan musim penghujan, para pendaki dan traveler pun biasanya menghindari bulan ini untuk berpetualang, tapi saya dan teman saya tidak. Bermodal jatah cuti yang sudah di approve oleh perusahaan masing-masing, perjalanan menjelajah Dieng pun dimulai per tanggal 21 Desember 2015 lalu.
Perjalanan darat yang kami lalui dengan bus antar kota ditempuh kurang lebih 12 jam lamanya. Sesampainya di terminal mendolo wonosobo pun kami harus menyambung transportasi darat lainnya untuk menuju Dieng, sebuah mobil elf berkapasitas 19 orang yang sukses membawa kami menaiki bukit yang semakin lama semakin meninggi dengan gagahnya.

Matahari sudah terbit satu jam yang lalu, tapi kabut tebal masih menemani pagi kami kala itu. Dan tentu saja suhu dingin diatas normal yang bahkan bagi saya yang memang sedikit mudah beradaptasi dengan kondisi dingin sekalipun. Penginapan sudah dipesan, kendaraan bermotor pun sudah kami sewa. Dan penjelajahan itu pun akhirnya benar-benar dimulai.
Tujuan pertama jatuh di telaga warna dan telaga pengilon yang memang masih terletak dalam satu kawasan, air nya yang menghijau sedikit mengering sepertinya. Meski tidak terlalu banyak yang bisa di eksplore terlebih pengunjung yang juga lumayan tinggi volumenya kami masih bisa menikmati telaga itu dengan nyaman, banyak warga lokal yang menjajakan jajanan khas daerah setempat seperti kentang goreng dan jamur crispy yang diberi bumbu hingga jagung bakar. Adapula yang menawarkan jasa guide dan foto langsung cetak di tiap sudut telaga. Agak menanjak sedikit kami tiba di spot bukit batu ratapan angin dimana pada ketinggian tersebut kita bisa melihat perbedaan warna antara telaga warna dan telaga pengilon dengan kontrasnya.

Partner perjalananku kembali mengijak pedal gas sepeda motor yang kami tumpangi ke tujuan berikutnya. Kawah Sikidang, meski tak pernah terbayang sebelumnya bahwa aroma belerang pada kawah tersebut begitu pekat. Tak ingin terlalu berlama-lama kami pun kembali bergerak, melewati candi bima dan dieng plateu theater kami terus menanjak menuju spot utama yaitu plang bertuliskan "Desa Tertinggi Di Pulau Jawa", tak jauh dari spot itu sebenarnya kami masih bisa meneruskan perjalanan hingga ke telaga cebong dan bukit sikunir yang terkenal akan golden sunrise nya itu, tapi apa daya tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya, kami pun melajukan sepeda motor itu dengan sedikit tergesa meski kabut kembali menebal dan sedikit mengganggu jarak pandang kami ke jalan.

Kembali ke penginapan dengan pakaian yang basah, tubuh menggigil dengan gigi yang tak henti bergemeretukan langsung saja kami memesan makanan dan minuman hangat, setelahnya saya langsung masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian dengan segera menghabiskan santapan siang menjelang sore itu dan menunggu hujan reda hingga malam menjelang.
Matahari kembali terbit keesokan harinya, sisa hujan semalam seperti bias tanpa sisa. Dari jendela kamar saya bisa mengintip pos pendakian gunung Prau yang berada tak jauh dari tempat penginapan. Banyak sekali pemuda-pemudi yang tengah bergegas melakukan persiapan dengan ransel-ransel besar yang mereka bawa. Pagi ini jadwal kami tinggal mengunjungi kawasan candi Arjuna yang letaknya juga tak jauh dari penginapan, cukup berjalan kaki dengan santai sekitar 10 menit saja. Kawasan candi arjuna terdiri dari beberapa candi besar dan kecil, dan di pelataran tengah kawasan dijadikan area kawasan candi utama yang bisa dilihat dari semua sudut area ini. Masih terlihat jelas tambalan kayu disana-sini akibat proses pemugaran yang entah kapan kunjung usai, melihat sudah lapuknya kayu yang menyanggah candi.


Hingga siang menjelang, setelah memuaskan diri berkeliling kawasan dieng. Kami pun bergegas untuk pulang,  menggunakan bus antar kota dan meninggalkan kenangan menakjubkan mengenai desa ini di belakang. Hanya dua hari memang, tapi memori nya bahkan masih melekat hingga sekarang.

Noted : Catatan Perjalanan ini dibuat dalam rangka kompetisi lomba menulis di http://microsite.nationalgeographic.co.id/