Minggu, 11 Juni 2017

Pagi

Aku benci pagi,
Terlebih jika malamnya hujan turun disertai kilat yang menyambar.
Bau basah tanah yang aromanya tak jauh berbeda dari bau anyir darah.

Aku benci pagi
Karena ditiap ku membuka mata, aku selalu berteriak menyeru namanya.
Mencari-cari keberadaaannya, yang kutahu tak kan pernah lagi ada.

* * *

Malam itu bumi kembali basah, petir saling bertalu menyerukan kegelisahannya. Aku terbangun karena seketika seluruh ruangan menjadi gelap!

"Mama!" seruku resah, Sebuah tangan menyapu wajahku dengan lembut, aku kenal sentuhan ini

"Mama cari lilin dulu ya sayang, lily jangan kemana-kemana janji?" Aku mengangguk dalam gelap.

BRAKK!!!

"Mama!!" kali ini aku berteriak, mencoba meraba jalan dan mendekati sumber suara.

Kilat yang masih menyambar sesukanya membuat pemandangan rumah terlalu mencekam, tapi setidaknya aku tahu dimana letak tangga dari sisa cahaya yg ia tinggalkan. Perlahan kutiti anak tangga satu persatu, hingga dianak tangga yang terakhir, kurasakan sesuatu yang menggenang diantara kedua kakiku dengan aroma asing yang begitu mengusik indra penciumanku.

"Mama..." kali ini suaraku melemah, dan aku pun langsung menghentikan langkah ketika ada sesuatu yang menghalangi jalan.

Aku merunduk, memastikan benda apa itu. Tapi aroma nya mirip mama. Kembali kurasakan kehangatan yang amat sangat kukenal ketika merabanya.

"Mama...!" Kilat kembali menyambar, Kuguncang pelan dan kudapati wajah mama yang sudah tertutupi oleh pekatnya darah.

* * *

"MAMA!!!" 

Aku kembali terbangun dengan peluh yang membanjiri tubuh, langsung kulihat arah jendela yang masih gelap gulita, sadar diluar tengah hujan lebat disertai kilat yang menyambar-nyambar. Lalu beralih ke arah jam dinding. 

Pukul 02.00

"Sial!!"

Kembali kutarik selimut rapat-rapat, berharap kali ini aku bisa terbangun lebih siang.

By. Hamdatun Nupus

Kamis, 08 Juni 2017

Abah

Malam itu aku tidak bisa tidur nyenyak, padahal emak sudah kelelahan mengiringi malam dengan tembang-tembang nina bobonya.

Kulihat abah sudah mulai bergegas menyiapkan kail dan jala untuk dibawa ke pesisir pantai tempat dimana perahu kecilnya tertambat.

"Tidur ya neng, bentar lagi subuh. Nanti dimarahi pak ustadz nggak ngaji lagi" seru emak sambil mengusap-ngusap kepalaku.

"Aku juga ingin segera tidur mak, tapi tak bisa" keluhku dalam hati

Ada kegusaran yang tak dapat kuartikan dengan benar, terlebih setelah abah pamit kepadaku dan emak lalu menutup pintu rumah rapat-rapat.

* * *

Benar saja, aku sukses bangun ketika matahari sudah terik membelah langit biru diatas sana. Tak ayal kudengar suara pak ustadz yang datang mengunjungi emak karena keabsenanku mengaji bada subuh tadi di surau. Sedikit menegurku sebetulnya, tapi aku hanya bisa bersembunyi didalam kamar berbilik bambu ini. 

Emak menghampiriku, menjawil gemas hidungku yang tak terlalu tinggi ini dan kembali mengingatkanku untuk tidak tidur larut lagi malam nanti.

Lalu kutatap jam dinding lekat-lekat, aku tak salah lihat. Jarumnya sudah mengarah ke angka sembilan.

"Mak! abah belum pulang ?" seruku kemudian

"Bentar lagi paling neng!" sahut emak dari dapur.

Kini giliranku yang menghampirinya. Mengambil baskom yang berisi kecambah dari tangan emak dan menggantikannya memilah-milah.

Langit yang tadinya biru berubah menjadi lebih gelap dan temaram. Tapi abah belum juga pulang. Padahal tumisan kecambah dan nasi yang sudah terlanjur mendingin masih tergelar diatas tikar. Kini emak yang gelisah, habis sudah kepalan tangannya teremas kuat-kuat.

"Kemana abah ?" seruku lirih dalam hati

* * *

Malam menjelang, tanda-tanda kehadiran abah kian musnah. Dan sesaat kemudian, kami lihat beberapa orang mendekat dari kejauhan. Sepertinya cukup banyak jumlahnya jika dilihat dari pendar sinar obor yang melingkupinya.

"Mak warsih!!" seru salah satu dari mereka ketika berhasil menatap wajah sendu emak.

Aku hanya bisa mendengar penuturan mereka dari balik tubuh emak yang meringkih. Kemudian bergetar karena tangis.

"Perasaan tak menyenangkan apa ini ?" ujarku lirih disela-sela kebingunganku.

* * *

Aku, emak dan beberapa warga sekitar rumah kini berdiri melingkar diatas gundukan tanah berpasir yang sayanganya tak ada penghuninya. Hanya ditambahi sebuah batu nisan berlafal nama abah diatasnya. 

Yang kuingat, setelah mencoba membantu menyadarkan emak dari pingsan, satu kenyataan yang aku coba percayai adalah. Abah sudah tiada, kapal kecil beserta isinya masih utuh diatas permukaan laut tapi tubuhnya hilang entah kemana.

Beberapa nelayan lain sudah mencoba menyelam disekitaran area mereka, tapi nihil. Tubuh abah tidak juga ditemukan.

Dibandingkan memelihara rasa kehilangan kepada jasad abah yang belum tahu dimana rimbanya. Aku memilih percaya bahwa abah memang sudah terkubur disana. Agar aku punya  alasan untuk mengunjunginya setiap hari di pemakaman ini. Bukan berkelana dalam ganasnya lautan

By. Hamdatun Nupus

Rabu, 07 Juni 2017

Ain





"Ain mau jilbab biru bu!"

Ini bukan kali pertama Ain merengeki Asih acap kali mampir ke pasar Depok Lama untuk membeli kebutuhan dagangannya. Apalagi dibulan Ramadhan dimana intensitas penjual kerudung makin merebak disepanjang jalan.

"Ain mau jilbab biru bu!" serunya kembali, Asih masih acuh, tangannya masih sibuk memilah-milah wortel dan tauge untuk bahan dasar bakwan yang akan ia goreng siang nanti.

"Ain mau jilbab biru !!!" kali ini suara ain setengah berteriak, asih menghentikan aktifitasnya sesaat lalu memandangi wajah ain dengan wajah kesal

"Kamu tuh masih kecil ain! gak perlu pake jilbab!" Sahut Asih berang

"Tapi kata pa ustad, perempuan itu harus pake jilbab bu!" rengeknya lagi

"Allah itu pengertian ain! sudah jangan merengek terus!" Asih kembali mengabaikannya.

Jangankan untuk membeli jilbab, hasil dagangan Asih menjual gorengan saja hampir tak menutupi kebutuhan mereka sehari-hari.

Rengekan ain berlanjut hingga keesokan harinya, ia memilih tak bicara sepanjang hari. Asih membiarkannya, nanti juga capek sendiri pikirnya.

Tanpa Ain, Asih tetap menjajakan gorengan buatannya di lapangan dekat rumah. Biasanya bada Ashar banyak warga yang mencari makanan untuk berbuka. Meski cuma setahun sekali Asih hampir selalu mencari peluang berjualan disana dengan warga lainnya.

Hari ini dagangan Asih ludes tanpa sisa, ia merasa senang bukan kepalang. Ia bergegas pulang untuk menyiapkan makanan berbuka dengan Ain. Sesampainya dirumah, Asih sempat heran karena lampu depan rumah  belum menyala. Anak ini pasti ketiduran ! keluh Asih.

Asih mengintip kamar 2x3 meternya itu, benar saja Ain masih berbaring dan terlihat sangat nyenyak. Tak tega membangunkan Asih langsung menuju dapur, menghangatkan makanan yang sudah terlebih dulu ia masak siang tadi.

Adzan berkumandang, Asih makin heran karena tak biasanya Ain terlelap hingga magrib. Sedikit berteriak Asih memanggil nama Ain berulang-ulang, tapi tak ada jawaban. Asih mulai kesal dan segara bangkit ke kamar. Ia guncang-guncangkan tubuh anak semata wayangnya itu, tapi Ain tak juga terjaga.

Aneh, tubuh Ain terasa dingin sekali. Asih mencoba menepis pikiran buruknya dengan mengguncangkan tubuh Ain lebih kuat. Nihil! Ain tidak bergeming, seketika Asih tertunduk lemas. Kekuatannya hilang entah kemana, ia dapati kerudung biru lusuh miliknya yang telah memudar terdekap erat dalam pelukan Ain.

Innalillahi wa inna illaihi rojiun

Seminggu yang lalu...

"Bu, tadi pa ustad cerita. Katanya kalo Ain jadi anak sholehah, Ain bisa bikinin rumah yang beeessaaaar buat Bapak di Surga, Rumah yang ada Taman dan juga air sungai yang mengalir deras" Ain begitu bersemangat bercerita sambil memotong-motong wortel disisi Asih, Asih hanya menanggapi celotehan anakknya itu dengan senyuman

"Nanti kita tinggal sama-sama ya bu di rumah itu!" Mata Ain membulat ke arah Asih, Asih mengangguk pasti sambil tetap tersenyum.


By. Hamdatun Nupus