Senin, 14 Desember 2015

Yang Kami Tahu

Oleh : Hamdatun Nupus


Yang aku tahu dan ibu tak tahu

Bagiku siang hari menjelang sore adalah waktu terbaik untuk bermain diluar rumah, Berlarian kesana-kemari tak tentu arah, menjelajah tempat-tempat baru bahkan hingga Saling mendorong dan tertawa bersama teman. Tak jarang, kadang pulang ke rumah menjelang malam. Dengan tubuh payah, baju basah bahkan penuh dengan tanah merah.
Meski aku tahu ibu selalu marah, toh tiap umpatan yang keluar dari mulutnya tak pernah membuatku jera berulah. Hingga suatu hari, aku ingat usiaku baru delapan tahun saat itu. Ketika ibu sibuk dengan urusan mencuci di kamar mandi belakang, aku menyelinap keluar dari pintu belakang di sela-sela jam tidur siangku.
Sedikit berlari ke arah salah satu rumah teman dan berkumpul dengan beberapa teman lainnya, hari itu kami sepakat untuk bermain di sungai, mereka bilang para tetua baru saja membuat jembatan kecil untuk melintas diatasnya. Tentu saja aku yang sangat penasaran ini mengenai rupa jembatan yang terbuat dari bambu itu langsung berlari riang menuju sungai.
Entah apa yg dipikirkan olehku saat itu, padahal kami bertiga hanya bolak-balik melewati jembatan hingga kejadian nahas itu pun terjadi. Aku tergelincir, jatuh menghantam permukaan air sungai. Sialnya siangnya  habis turun hujan sehingga volume sungai sedikit tinggi dan juga deras.
Aku si anak nakal berusia delapan tahun yang tak bisa berenang, meski upayaku begitu keras aku bahkan tak mampu membuat diriku berada diatas permukaan, terdengar teriakan teman-temanku dari sisi sungai yang memanggil-manggil namaku dengan samara, diikuti dengan tubuhku yang timbul tenggelam. Aku merasakan dingin yg luar biasa, ada sesuatu yang menyumbat saluran pernafasanku karena rasanya untuk bernafas dengan normal sesak bukan main.
Aku rasa aku akan mati saat itu, tapi tak ada cahaya putih yang menyambut. Dan tak lama aku sadar sudah ada ditepian, Dikelilingi oleh teman-temanku tentunya, dan kakak perempuan temanku yang menanyakan keadaanku berulang-ulang, Aku tidak mati. Hanya sedikit tersedak air, dia yang menarikku ke tepian sesaat setelah mendengar teriakan teman-temanku sebelumnya. Aku sangat bersyukur tentu saja, senja masih belum temaram dengan sempurna dan kuputuskan untuk mengakhiri waktu bermainku hari itu lebih cepat.
Sesampainya dirumah, dengan tubuh yg masih payah tentu juga basah dan beraroma tak sedap. Kudapati ibuku masih sibuk dengan urusan mencucinya. Aku berteriak lirih menandai kedatangaku di rumah, ibu tidak merespon sama sekali. Tak seperti biasa dengan hari-hari sebelumnya sehabis berulah, hari itu aku begitu ingin memeluk ibuku, menangis dan mengeluh mengenai apa yang baru saja menimpaku beberapa saat yang lalu, ingin mengerang dan berharap ibu bisa menepuk-nepuk punggungku dan menenangkanku.
Tapi ibu masih bungkam dan acuh, bahkan terbesit marah dalam tatapannya ketika melewatiku. Apakah ibu tidak mendengar mengenai aku yang hampir saja tenggelam?, aku pun hanya bisa tertunduk.
Saat hendak beranjak menuju kamar, seketika ibu berteriak memarahiku karena selalu saja pulang larut, karena selalu saja membuat pakaian yang ku pakai kotor dan bau, selalu saja nakal dan tidak mau mendengar.
Aku masuk ke dalam kamar dengan perasaan sedih, aku menangis sejadinya. Tak memperdulikan pakaian yang masih basah dan langsung bergelut dengan selimut diatas kasur. Hingga akhirnya aku terlelap hingga esok hari, dan anehnya aku masih merasa sedih ketika bangun dipagi hari. Ibuku masih saja mengacuhkan aku

* * *

Yang ibu tahu dan aku tak tahu,

Baginya aku hanya anak nakal yang susah diatur, bahkan di usiaku yang masih delapan tahun saat itu mungkin aku kerap kali membuatnya menangis. Hari itu teramat berat baginya, pekerjaan rumah yang tak kunjung usai. Si abang kembali berulah, sudah tiga bulan SPP yang diberikannya entah lari kemana. Suami yang juga ayahku seringkali mengisi waktu liburnya dengan bekerja demi menambah uang belanja. Aku yang datang dengan muka sembab, tentu menambah daftar panjang keletihan hatinya. Hanya makian yang bisa terucap kala itu.
Aku baru tahu setelahnya, aku tahu saat itu selepas ia memarahiku ia juga menangis dibalk pintu kamar. Merebahkan tubuhnya yang mulai menua sambil memeluk lutut dengan lemas.
Aku tahu meski baru setelahnya, setelah aku benar-benar terlelap tidur ia masuk ke dalam kamar, menggantikan bajuku yang basah tanpa kusadari keesokan harinya. Menyelimutiku, lalu mengecup keningku. Membisikan kata-kata mantra, agar aku tak begitu menyusahkan lagi kedepannya tepat ditelingaku.


Yang akhirnya kami tahu dan kami pahami,

Kami memang bukan, pasangan ibu dan anak yang kompak. Yang sudah saling mengerti hanya dengan saling menatap, tapi yang aku tahu aku menyayangi ibu dengan amat sangat, dan yang aku yakini bahwa ibu pun demikian.
Terimakasih Ibu . . .



Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakanNulisbuku.com dan Storial.co