Oleh : Hamdatun Nupus
Yang aku tahu dan ibu tak tahu
Bagiku siang hari menjelang sore
adalah waktu terbaik untuk bermain diluar rumah, Berlarian kesana-kemari tak
tentu arah, menjelajah tempat-tempat baru bahkan hingga Saling mendorong dan
tertawa bersama teman. Tak jarang, kadang pulang ke rumah menjelang malam.
Dengan tubuh payah, baju basah bahkan penuh dengan tanah merah.
Meski aku tahu ibu selalu marah, toh
tiap umpatan yang keluar dari mulutnya tak pernah membuatku jera berulah.
Hingga suatu hari, aku ingat usiaku baru delapan tahun saat itu. Ketika ibu
sibuk dengan urusan mencuci di kamar mandi belakang, aku menyelinap keluar dari
pintu belakang di sela-sela jam tidur siangku.
Sedikit berlari ke arah salah satu
rumah teman dan berkumpul dengan beberapa teman lainnya, hari itu kami sepakat
untuk bermain di sungai, mereka bilang para tetua baru saja membuat jembatan
kecil untuk melintas diatasnya. Tentu saja aku yang sangat penasaran ini
mengenai rupa jembatan yang terbuat dari bambu itu langsung berlari riang
menuju sungai.
Entah apa yg dipikirkan olehku saat
itu, padahal kami bertiga hanya bolak-balik melewati jembatan hingga kejadian
nahas itu pun terjadi. Aku tergelincir, jatuh menghantam permukaan air sungai.
Sialnya siangnya habis turun hujan sehingga
volume sungai sedikit tinggi dan juga deras.
Aku si anak nakal berusia delapan
tahun yang tak bisa berenang, meski upayaku begitu keras aku bahkan tak mampu
membuat diriku berada diatas permukaan, terdengar teriakan teman-temanku dari
sisi sungai yang memanggil-manggil namaku dengan samara, diikuti dengan tubuhku
yang timbul tenggelam. Aku merasakan dingin yg luar biasa, ada sesuatu yang
menyumbat saluran pernafasanku karena rasanya untuk bernafas dengan normal
sesak bukan main.
Aku rasa aku akan mati saat itu, tapi
tak ada cahaya putih yang menyambut. Dan tak lama aku sadar sudah ada ditepian,
Dikelilingi oleh teman-temanku tentunya, dan kakak perempuan temanku yang
menanyakan keadaanku berulang-ulang, Aku tidak mati. Hanya sedikit tersedak
air, dia yang menarikku ke tepian sesaat setelah mendengar teriakan
teman-temanku sebelumnya. Aku sangat bersyukur tentu saja, senja masih belum
temaram dengan sempurna dan kuputuskan untuk mengakhiri waktu bermainku hari
itu lebih cepat.
Sesampainya dirumah, dengan tubuh yg
masih payah tentu juga basah dan beraroma tak sedap. Kudapati ibuku masih sibuk
dengan urusan mencucinya. Aku berteriak lirih menandai kedatangaku di rumah,
ibu tidak merespon sama sekali. Tak seperti biasa dengan hari-hari sebelumnya
sehabis berulah, hari itu aku begitu ingin memeluk ibuku, menangis dan mengeluh
mengenai apa yang baru saja menimpaku beberapa saat yang lalu, ingin mengerang
dan berharap ibu bisa menepuk-nepuk punggungku dan menenangkanku.
Tapi ibu masih bungkam dan acuh,
bahkan terbesit marah dalam tatapannya ketika melewatiku. Apakah ibu tidak mendengar mengenai aku yang hampir saja tenggelam?,
aku pun hanya bisa tertunduk.
Saat hendak beranjak menuju kamar,
seketika ibu berteriak memarahiku karena selalu saja pulang larut, karena
selalu saja membuat pakaian yang ku pakai kotor dan bau, selalu saja nakal dan
tidak mau mendengar.
Aku masuk ke dalam kamar dengan
perasaan sedih, aku menangis sejadinya. Tak memperdulikan pakaian yang masih
basah dan langsung bergelut dengan selimut diatas kasur. Hingga akhirnya aku
terlelap hingga esok hari, dan anehnya aku masih merasa sedih ketika bangun
dipagi hari. Ibuku masih saja mengacuhkan aku
* * *
Yang ibu tahu dan aku tak tahu,
Baginya aku hanya anak nakal yang
susah diatur, bahkan di usiaku yang masih delapan tahun saat itu mungkin aku
kerap kali membuatnya menangis. Hari itu teramat berat baginya, pekerjaan rumah
yang tak kunjung usai. Si abang kembali berulah, sudah tiga bulan SPP yang
diberikannya entah lari kemana. Suami yang juga ayahku seringkali mengisi waktu
liburnya dengan bekerja demi menambah uang belanja. Aku yang datang dengan muka
sembab, tentu menambah daftar panjang keletihan hatinya. Hanya makian yang bisa
terucap kala itu.
Aku baru tahu setelahnya, aku tahu
saat itu selepas ia memarahiku ia juga menangis dibalk pintu kamar. Merebahkan
tubuhnya yang mulai menua sambil memeluk lutut dengan lemas.
Aku tahu meski baru setelahnya,
setelah aku benar-benar terlelap tidur ia masuk ke dalam kamar, menggantikan
bajuku yang basah tanpa kusadari keesokan harinya. Menyelimutiku, lalu mengecup
keningku. Membisikan kata-kata mantra, agar aku tak begitu menyusahkan lagi
kedepannya tepat ditelingaku.
Yang akhirnya kami tahu dan kami pahami,
Kami memang bukan, pasangan ibu dan
anak yang kompak. Yang sudah saling mengerti hanya dengan saling menatap, tapi
yang aku tahu aku menyayangi ibu dengan amat sangat, dan yang aku yakini bahwa
ibu pun demikian.
Terimakasih Ibu . . .
Blog
post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang
diselenggarakanNulisbuku.com dan Storial.co