Saya memang memiliki tubuh yang
tidak semampai, terbilang kecil malah tapi saya justru menyukai hal-hal yang
berbau dengan ketinggian, salah satu contohnya mendaki gunung. Mendaki gunung
memang hobi yang baru saja saya geluti 2 tahun belakangan ini, tapi
perjalanannya membuat saya terlanjur jatuh cinta untuk berhenti. Hingga
akhirnya hobi itu pun meluas, sehingga
saya menjadi begitu mudah jatuh cinta dengan alam dan menikmati setiap
inchi keindahan yang dimiliki negeri tercinta yang tak akan pernah ada habisnya
ini menjadi salah satu tujuan dalam hidup saya.
Bicara mengenai ketinggian, kali
ini saya akan membawa kalian menuju desa tertinggi di pulau jawa Indonesia.
Desa Sembungan namanya, terletak di dataran tinggi Dieng Wonosobo Jawa Tengah.
Dengan ketinggian 2.306MDPL bisa
dibayangkan seberapa ekstrem suhu menggigit disana ?.
Bulan desember identik dengan musim
penghujan,
para pendaki dan traveler pun biasanya menghindari bulan ini untuk
berpetualang, tapi saya dan teman saya tidak. Bermodal jatah cuti yang sudah di
approve oleh perusahaan
masing-masing, perjalanan menjelajah Dieng pun dimulai per tanggal 21 Desember
2015 lalu.
Perjalanan darat yang kami lalui
dengan bus antar kota ditempuh kurang lebih 12 jam lamanya. Sesampainya di
terminal mendolo wonosobo pun kami harus menyambung transportasi darat lainnya
untuk menuju Dieng, sebuah mobil elf berkapasitas 19 orang yang sukses membawa
kami menaiki bukit yang semakin lama semakin meninggi dengan gagahnya.
Matahari sudah terbit satu jam yang
lalu, tapi kabut tebal masih menemani pagi kami kala itu. Dan tentu saja suhu
dingin diatas normal yang bahkan bagi saya yang memang sedikit mudah
beradaptasi dengan kondisi dingin sekalipun. Penginapan sudah dipesan,
kendaraan bermotor pun sudah kami sewa. Dan penjelajahan itu pun akhirnya
benar-benar dimulai.
Tujuan pertama jatuh di telaga
warna dan telaga pengilon yang memang masih terletak dalam satu kawasan, air
nya yang menghijau sedikit mengering sepertinya. Meski tidak terlalu banyak
yang bisa di eksplore terlebih pengunjung yang juga lumayan tinggi volumenya kami masih bisa
menikmati telaga itu dengan nyaman, banyak warga lokal yang menjajakan jajanan
khas daerah setempat seperti kentang goreng dan jamur crispy yang diberi bumbu
hingga jagung bakar. Adapula yang menawarkan jasa guide dan foto langsung cetak di tiap sudut telaga. Agak menanjak
sedikit kami tiba di spot bukit batu ratapan angin dimana pada ketinggian
tersebut kita
bisa melihat perbedaan warna antara telaga warna dan telaga pengilon dengan
kontrasnya.
Partner perjalananku kembali
mengijak pedal gas sepeda motor yang kami tumpangi ke tujuan berikutnya. Kawah
Sikidang, meski tak pernah terbayang sebelumnya bahwa aroma belerang pada kawah
tersebut begitu pekat. Tak ingin terlalu berlama-lama kami pun kembali
bergerak, melewati candi bima dan dieng plateu theater kami terus menanjak
menuju spot utama yaitu plang bertuliskan "Desa Tertinggi Di Pulau
Jawa", tak jauh dari spot itu sebenarnya kami masih bisa meneruskan
perjalanan hingga ke telaga cebong dan bukit sikunir yang terkenal akan golden sunrise nya itu, tapi apa daya
tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya, kami pun melajukan sepeda motor itu
dengan sedikit tergesa meski kabut kembali menebal dan sedikit mengganggu jarak
pandang kami ke jalan.
Kembali ke penginapan dengan
pakaian yang basah, tubuh menggigil dengan gigi yang tak henti bergemeretukan
langsung saja kami memesan makanan dan minuman hangat, setelahnya saya langsung masuk ke dalam
kamar untuk berganti pakaian dengan segera menghabiskan santapan siang
menjelang sore itu dan menunggu hujan reda hingga malam menjelang.
Matahari kembali terbit keesokan harinya, sisa
hujan semalam seperti bias tanpa sisa. Dari jendela kamar saya bisa mengintip pos
pendakian gunung Prau yang berada tak jauh dari tempat penginapan. Banyak
sekali pemuda-pemudi yang tengah bergegas melakukan persiapan dengan
ransel-ransel besar yang mereka bawa. Pagi ini jadwal kami tinggal mengunjungi
kawasan candi Arjuna yang letaknya juga tak jauh dari penginapan, cukup
berjalan kaki dengan santai sekitar 10 menit saja. Kawasan candi arjuna terdiri
dari beberapa candi besar dan kecil, dan di pelataran tengah kawasan dijadikan
area kawasan candi utama yang bisa dilihat dari semua sudut area ini. Masih
terlihat jelas tambalan kayu disana-sini akibat proses pemugaran yang entah
kapan kunjung usai, melihat sudah lapuknya kayu yang menyanggah candi.
Hingga siang menjelang, setelah
memuaskan diri berkeliling kawasan dieng. Kami pun bergegas untuk pulang, menggunakan bus antar kota dan meninggalkan
kenangan menakjubkan mengenai desa ini di belakang. Hanya dua hari memang,
tapi memori nya bahkan masih melekat hingga sekarang.
Noted : Catatan Perjalanan ini dibuat dalam rangka kompetisi lomba menulis di http://microsite.nationalgeographic.co.id/