Jumat, 29 Januari 2016

Desa Tertinggi di Pulau Jawa Itu Bernama Desa Sembungan

Saya memang memiliki tubuh yang tidak semampai, terbilang kecil malah tapi saya justru menyukai hal-hal yang berbau dengan ketinggian, salah satu contohnya mendaki gunung. Mendaki gunung memang hobi yang baru saja saya geluti 2 tahun belakangan ini, tapi perjalanannya membuat saya terlanjur jatuh cinta untuk berhenti. Hingga akhirnya hobi itu pun meluas, sehingga saya menjadi begitu mudah jatuh cinta dengan alam dan menikmati setiap inchi keindahan yang dimiliki negeri tercinta yang tak akan pernah ada habisnya ini menjadi salah satu tujuan dalam hidup saya.
Bicara mengenai ketinggian, kali ini saya akan membawa kalian menuju desa tertinggi di pulau jawa Indonesia. Desa Sembungan namanya, terletak di dataran tinggi Dieng Wonosobo Jawa Tengah. Dengan ketinggian 2.306MDPL bisa dibayangkan seberapa ekstrem suhu menggigit disana ?.
Bulan desember identik dengan musim penghujan, para pendaki dan traveler pun biasanya menghindari bulan ini untuk berpetualang, tapi saya dan teman saya tidak. Bermodal jatah cuti yang sudah di approve oleh perusahaan masing-masing, perjalanan menjelajah Dieng pun dimulai per tanggal 21 Desember 2015 lalu.
Perjalanan darat yang kami lalui dengan bus antar kota ditempuh kurang lebih 12 jam lamanya. Sesampainya di terminal mendolo wonosobo pun kami harus menyambung transportasi darat lainnya untuk menuju Dieng, sebuah mobil elf berkapasitas 19 orang yang sukses membawa kami menaiki bukit yang semakin lama semakin meninggi dengan gagahnya.

Matahari sudah terbit satu jam yang lalu, tapi kabut tebal masih menemani pagi kami kala itu. Dan tentu saja suhu dingin diatas normal yang bahkan bagi saya yang memang sedikit mudah beradaptasi dengan kondisi dingin sekalipun. Penginapan sudah dipesan, kendaraan bermotor pun sudah kami sewa. Dan penjelajahan itu pun akhirnya benar-benar dimulai.
Tujuan pertama jatuh di telaga warna dan telaga pengilon yang memang masih terletak dalam satu kawasan, air nya yang menghijau sedikit mengering sepertinya. Meski tidak terlalu banyak yang bisa di eksplore terlebih pengunjung yang juga lumayan tinggi volumenya kami masih bisa menikmati telaga itu dengan nyaman, banyak warga lokal yang menjajakan jajanan khas daerah setempat seperti kentang goreng dan jamur crispy yang diberi bumbu hingga jagung bakar. Adapula yang menawarkan jasa guide dan foto langsung cetak di tiap sudut telaga. Agak menanjak sedikit kami tiba di spot bukit batu ratapan angin dimana pada ketinggian tersebut kita bisa melihat perbedaan warna antara telaga warna dan telaga pengilon dengan kontrasnya.

Partner perjalananku kembali mengijak pedal gas sepeda motor yang kami tumpangi ke tujuan berikutnya. Kawah Sikidang, meski tak pernah terbayang sebelumnya bahwa aroma belerang pada kawah tersebut begitu pekat. Tak ingin terlalu berlama-lama kami pun kembali bergerak, melewati candi bima dan dieng plateu theater kami terus menanjak menuju spot utama yaitu plang bertuliskan "Desa Tertinggi Di Pulau Jawa", tak jauh dari spot itu sebenarnya kami masih bisa meneruskan perjalanan hingga ke telaga cebong dan bukit sikunir yang terkenal akan golden sunrise nya itu, tapi apa daya tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya, kami pun melajukan sepeda motor itu dengan sedikit tergesa meski kabut kembali menebal dan sedikit mengganggu jarak pandang kami ke jalan.

Kembali ke penginapan dengan pakaian yang basah, tubuh menggigil dengan gigi yang tak henti bergemeretukan langsung saja kami memesan makanan dan minuman hangat, setelahnya saya langsung masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian dengan segera menghabiskan santapan siang menjelang sore itu dan menunggu hujan reda hingga malam menjelang.
Matahari kembali terbit keesokan harinya, sisa hujan semalam seperti bias tanpa sisa. Dari jendela kamar saya bisa mengintip pos pendakian gunung Prau yang berada tak jauh dari tempat penginapan. Banyak sekali pemuda-pemudi yang tengah bergegas melakukan persiapan dengan ransel-ransel besar yang mereka bawa. Pagi ini jadwal kami tinggal mengunjungi kawasan candi Arjuna yang letaknya juga tak jauh dari penginapan, cukup berjalan kaki dengan santai sekitar 10 menit saja. Kawasan candi arjuna terdiri dari beberapa candi besar dan kecil, dan di pelataran tengah kawasan dijadikan area kawasan candi utama yang bisa dilihat dari semua sudut area ini. Masih terlihat jelas tambalan kayu disana-sini akibat proses pemugaran yang entah kapan kunjung usai, melihat sudah lapuknya kayu yang menyanggah candi.


Hingga siang menjelang, setelah memuaskan diri berkeliling kawasan dieng. Kami pun bergegas untuk pulang,  menggunakan bus antar kota dan meninggalkan kenangan menakjubkan mengenai desa ini di belakang. Hanya dua hari memang, tapi memori nya bahkan masih melekat hingga sekarang.

Noted : Catatan Perjalanan ini dibuat dalam rangka kompetisi lomba menulis di http://microsite.nationalgeographic.co.id/