Selasa, 16 Februari 2016

Mengenai Hujan


"Hai Hujan, aku tak merindukanmu hari ini...bisakah kau datang saja nanti ?"



Kadang ketika rindu, aku akan berdoa sepanjang malam agar ia hadir, agar ia segera datang, agar ia ada menemani.

Namun tak jarang jika tak ingin ia ada, aku berhenti menyapa, berhenti menyadari keberadaanya, berhenti seketika.

Mengingatnya, mengingatkanku akan perang pertama kita, aku di sudut yang satu dan kau disudut yang lain nya, kau menggunakan kedua tanganmu sementara dengan sedikit kreatif ku gunakan ember kelas yang biasa digunakan untuk menampung tetesannya dari salah satu celah genteng sekolah kita yang bocor, dan setelahnya kita pun lebur dalam basah.

Mengingatnya, mengingatkanku akan cinta yang tiba-tiba datang dan mengusik kita, karena kau yang pertama dan ada sosok lain yang kujadikan setelahnya, membius dan memaksaku mendendangkan lagu tentang hujan dari uthopia berulang-ulang.

Mengingatnya, mengingatkanku akan pertemuan terakhir kita, yang saat itu hanya duduk berdua, menunggu ia reda sambil bercerita tentang masa yang sudah lama lewat.

Bukan hanya karena rintikannya yang menentramkan, bukan juga karenanya waktu terasa berhenti sesaat. Tapi ada satu harap yang selalu menggema...apakah ada pelangi setelahnya? karena kemungkinan itu selalu ada, membuatku rela selalu setia.

Banyak cerita tentang aku dan hujan, ya...mungkin terdengar terlalu melankolis, tapi biar saja...hubungan ku dengan hujan biar menjadi urusanku saja.


Hujan Pagi ini yang tak lagi sama
(17-02-2016)
By. Hamdatun Nupus

Senin, 15 Februari 2016

Pernah Patah Hati ?, Aku Pernah. . .

Ini kisah para penjelajah alam, para penakluk ketinggian dan para pengagum keindahan. Mungkin terdengar berlebihan, tapi tidak bagi kami.

Mungkin banyak yang memilih untuk berplesiran menjelajah pantai untuk mengagumi keindahan terumbu karang dari dalam laut. Atau memupuk suka cita di taman hiburan dimana kita bisa berteriak sekeras-keras nya sekaligus tertawa yang lebar, dan kami memilih untuk mendaki gunung.

Sudah banyak gunung yang kami daki, baik secara bersama maupun sendiri-sendiri dengan kawanan lain. Dari yang tingginya diatas 2000-an MDPL hingga yang mendekati 3000-an MDPL, tapi kisah yang akan coba ku ceritakan ini adalah kisah patah hati kami dalam mendaki, iya...patah hati karena tidak berhasil menjejakan kaki di puncak pangrango Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Bogor Jawa Barat.

Kami berenam, terdiri dari aku sendiri, ka hayu, ka wiwit, kei, benny dan sugeng. Sebenarnya acara pendakian kali ini terbilang mendadak, karena direncanakan hampir mendekati tanggal keberangkatan, berbekal perlengkapan seadanya dengan tujuan satu hari pendakian (Naik dan turun di hari yang sama).



Kiri ke kanan → Sugeng, Kak Hayu, Benny, Kei, Aku dan Ka Wiwit

Hari sabtu mendekati tengah malam  kami ber-enam berkumpul di rumah kei yang berada di daerah pekapuran depok, memasukan semua perlengkapan dalam satu tas cerrier dan satu tas daypack yang keduanya akan dibawa oleh para pria nantinya. Setelah mengisi perut-perut yang kosong kami pun akhirnya berangkat menuju bogor mengendarai motor dengan saling berboncengan, aku dengan benny, ka hayu dengan sugeng dan ka wiwit dengan kei.

Sampai di area jalur pendakian Cibodas sekitar pukul 3 pagi, kei berinisiatif mencari penginapan di area basecamp pendakian untuk kami. Lumayan lah untuk mengistirahatkan tubuh sebelum mendaki setelah kurang lebih tiga jam berada diatas motor dan akhirnya dengan mudah kami pun terlelap.

Pagi-pagi sekali kami kembali bergerak, membersihkan diri dan sarapan tentunya. Bercengkrama dengan pemilik penginapan dan para pendaki lain yang baru saja turun dari jalur pendakian yang sama-sama tengah menyantap sarapan bersama kami. Anggota kami yang berjumlah enam pun bertambah, ternyata kei menghubungi beberapa teman nya yang lain beberapa hari sebelumnya untuk mendaki bersama dan personil kami pun menjadi genap bersepuluh ditambah bang sony, ka nisa, agus dan chika.

Tanpa membuang-buang banyak waktu lagi, segera saja kami bersepuluh bergegas menuju pos pertama jalur pendakian Cibodas yang jarak tempuhnya hanya sekitar lima belas menit dengan berjalan kaki dari penginapan. Pendakian kami sebenarnya cukup ber-resiko, karena kami secara ilegal hanya membeli tiket air terjun cibereum dengan tujuan puncak pangrango. Seperti yang sudah kukatakan, bahwa agenda penanjakan itu begitu minim persiapan. Just For Information untuk bisa melakukan kegiatan pendakian dibutuhkan surat perizinan SIMAKSI yang harus di urus minimal satu bulan sebelum pendakian, jadi tindakan ilegal kami ini jangan di tiru ya :).

Kami bersepuluh pun dengan bersemangat memulai perjalanan dengan santai, sebagian besar dari kami sudah sangat familiar dengan jalur pendakian cibodas yang jalanannya tersusun atas bebatuan yang ditata dengan rapih. Dikanan-kiri pun dipenuhi semak belukar dan pepohonan yang menjulang tinggi, setelah melewati pos telaga warna, pos air terjun cibereum, pos kandang batu dan pos air panas akhirnya kami pun berhasil sampai di pos kandang badak untuk ber istirahat. Dimana disana sudah banyak sekali tenda-tenda para pendaki yang sudah lebih dulu datang dihari sebelumnya, kami sengaja hanya istirahat sebentar hanya untuk makan siang, sholat dan meregangkan otot-otot yang lelah setelah kurang lebih lima jam berjalan menanjak yang nyaris tanpa istirahat panjang.

Sekitar pukul satu siang, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju persimpangan yang memisahkan antara jalur puncak gede dengan jalur puncak pangrango, dan dengan mantap kami pun melangkahkan kaki menelusuri jalur puncak pangrango. Berbeda dengan jalur puncak gede yang masih didominasi bebatuan besar dengan perbedaan ketinggian yang cukup curam, jalur puncak pangrango lebih didominasi pepohonan besar dengan lebar jalan yang terbilang sempit dan suhu udara yang cukup lembab, hal ini pun membuat  jalur puncak pangrango terlihat lebih gelap dibanding jalur puncak gede.

Tapi aku jatuh cinta akan jalur nya, membuatku ingin terus melakukan parkour dan free running sehingga kerap diingatkan oleh rekan-rekan yang lain untuk berhenti dan menunggu rekanku yang tertinggal jauh dibelakang. Semakin ke atas jalur puncak pangrango semakin gelap, ku rasa karena faktor awan kelabu yang menandakan akan datangnya hujan sehingga cahaya matahari sulit menembus jalur pendakian kami.

Di awal kami berkomitmen jika dalam rentang waktu 2 jam tidak berhasil mencapai puncak, maka kami akan menghentikan pendakian dan kembali turun. Aku menyepakatinya karena tak sekalipun terbesit untuk mundur, tapi nyatanya alam sedang tidak bersahabat tepat pukul tiga sore gerimis itu pun datang dan membuat kami harus memutuskan untuk kembali secepatnya. Terlalu beresiko berada ditengah jalur pendakian dalam kondisi hujan, dan dengan langkah gontai setengah terpaksa menahan sakitnya patah hati tidak bisa menyentuh puncak pangrango aku pun harus rela mengekor dari belakang.

Namun perasaan sakit itu pun terganti dengan rasa syukur karena tak lama setelah turun gerimis, badai hujan besar pun datang. Hujan yang tak memberi sedikitpun waktu bagi kami untuk lengah, kami memutuskan untuk tetap melangkah ditengah hujan di hari yang sudah menggelap. Tak bisa kubayangkan seandainya saja kami masih berada di jalur pendakian puncak pangrango yang sempit itu.

Dengan tubuh yang kepayahan serta tenaga yang nyaris habis dan beberapa diantara kami ada yang sakit akibat sesekali sempat terjatuh, membuat langkah kami melambat. Dan percaya atau tidak kami baru bisa sampai kembali di basecamp tengah malam, itu artinya kami membutuhkan waktu hampir 2x lebih lama dibanding saat naik, itu tidak normal karena seharusnya waktu tempuh turun bisa setengah lebih cepat dari waktu tempuh saat naik.

Tapi kami tetap bersyukur, meski gagal mencapai puncak pangrango kami bisa kembali dalam keadaan utuh dan selamat  :D


Kiri ke kanan → Kei, Bang Sony, Agus, Kak Hayu, Kak Wiwit, Kak Nisa, Aku, Chika, Sugeng, Benny

Catatan perjalanan ini pernah dimuat sebelumnya di :
http://pernahdotcom.blogspot.co.id/2015/01/pernah-patah-hati-aku-pernah.html
dengan author yang sama

By. Hamdatun Nupus