Kamis, 08 Juni 2017

Abah

Malam itu aku tidak bisa tidur nyenyak, padahal emak sudah kelelahan mengiringi malam dengan tembang-tembang nina bobonya.

Kulihat abah sudah mulai bergegas menyiapkan kail dan jala untuk dibawa ke pesisir pantai tempat dimana perahu kecilnya tertambat.

"Tidur ya neng, bentar lagi subuh. Nanti dimarahi pak ustadz nggak ngaji lagi" seru emak sambil mengusap-ngusap kepalaku.

"Aku juga ingin segera tidur mak, tapi tak bisa" keluhku dalam hati

Ada kegusaran yang tak dapat kuartikan dengan benar, terlebih setelah abah pamit kepadaku dan emak lalu menutup pintu rumah rapat-rapat.

* * *

Benar saja, aku sukses bangun ketika matahari sudah terik membelah langit biru diatas sana. Tak ayal kudengar suara pak ustadz yang datang mengunjungi emak karena keabsenanku mengaji bada subuh tadi di surau. Sedikit menegurku sebetulnya, tapi aku hanya bisa bersembunyi didalam kamar berbilik bambu ini. 

Emak menghampiriku, menjawil gemas hidungku yang tak terlalu tinggi ini dan kembali mengingatkanku untuk tidak tidur larut lagi malam nanti.

Lalu kutatap jam dinding lekat-lekat, aku tak salah lihat. Jarumnya sudah mengarah ke angka sembilan.

"Mak! abah belum pulang ?" seruku kemudian

"Bentar lagi paling neng!" sahut emak dari dapur.

Kini giliranku yang menghampirinya. Mengambil baskom yang berisi kecambah dari tangan emak dan menggantikannya memilah-milah.

Langit yang tadinya biru berubah menjadi lebih gelap dan temaram. Tapi abah belum juga pulang. Padahal tumisan kecambah dan nasi yang sudah terlanjur mendingin masih tergelar diatas tikar. Kini emak yang gelisah, habis sudah kepalan tangannya teremas kuat-kuat.

"Kemana abah ?" seruku lirih dalam hati

* * *

Malam menjelang, tanda-tanda kehadiran abah kian musnah. Dan sesaat kemudian, kami lihat beberapa orang mendekat dari kejauhan. Sepertinya cukup banyak jumlahnya jika dilihat dari pendar sinar obor yang melingkupinya.

"Mak warsih!!" seru salah satu dari mereka ketika berhasil menatap wajah sendu emak.

Aku hanya bisa mendengar penuturan mereka dari balik tubuh emak yang meringkih. Kemudian bergetar karena tangis.

"Perasaan tak menyenangkan apa ini ?" ujarku lirih disela-sela kebingunganku.

* * *

Aku, emak dan beberapa warga sekitar rumah kini berdiri melingkar diatas gundukan tanah berpasir yang sayanganya tak ada penghuninya. Hanya ditambahi sebuah batu nisan berlafal nama abah diatasnya. 

Yang kuingat, setelah mencoba membantu menyadarkan emak dari pingsan, satu kenyataan yang aku coba percayai adalah. Abah sudah tiada, kapal kecil beserta isinya masih utuh diatas permukaan laut tapi tubuhnya hilang entah kemana.

Beberapa nelayan lain sudah mencoba menyelam disekitaran area mereka, tapi nihil. Tubuh abah tidak juga ditemukan.

Dibandingkan memelihara rasa kehilangan kepada jasad abah yang belum tahu dimana rimbanya. Aku memilih percaya bahwa abah memang sudah terkubur disana. Agar aku punya  alasan untuk mengunjunginya setiap hari di pemakaman ini. Bukan berkelana dalam ganasnya lautan

By. Hamdatun Nupus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar